Larangan Menikah di Bulan Suro? Ini Pandangan Islam dan Mazhab Syafi’i
Bangkit Pos - Surabaya, Bulan Muharram atau Suro dalam kalender Jawa sering dianggap sebagai waktu yang tidak baik untuk menikah. Banyak masyarakat meyakini bahwa pernikahan di bulan ini bisa membawa kesialan.
Anggapan tersebut berasal dari tradisi budaya Jawa, bukan dari ajaran Islam. Islam sendiri tidak pernah menyebut satu bulan pun sebagai waktu sial untuk pernikahan.
Dalam ajaran Islam, semua bulan pada dasarnya adalah waktu baik untuk ibadah, termasuk menikah. Tidak ada dalil sahih yang membatasi waktu menikah hanya di bulan tertentu.
Keyakinan bahwa Suro adalah bulan penuh musibah berkaitan dengan tragedi Karbala. Namun, itu tidak menjadikan bulan ini haram untuk kegiatan seperti pernikahan.
Menurut Ustaz Abdul Wahab Saleh, M.Ag., tidak ada larangan syariat untuk menikah di bulan Muharram. Yang dilarang hanya saat sedang ihram dalam haji atau umrah.
“Justru anggapan seperti itu tidak berdasar dalil. Dalam Islam, semua waktu baik untuk melakukan pernikahan,” ujarnya kepada Jatim Times.
Mazhab Syafi’i, yang banyak dianut di Indonesia, juga tidak menyebut adanya waktu tertentu yang haram untuk menikah. Selama tidak dalam kondisi ihram, pernikahan sah.
Imam Nawawi dalam al-Majmu’ menjelaskan bahwa semua waktu dibolehkan untuk akad nikah, kecuali waktu-waktu tertentu yang ada dalil larangannya, seperti saat ihram.
Dalam kitab Hasyiyah Asy-Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj, dijelaskan bahwa tidak ada waktu yang membawa keberuntungan atau kesialan dalam pernikahan menurut syariat.
Anggapan tentang waktu sial termasuk dalam tathayyur. Tathayyur adalah mempercayai nasib buruk karena waktu, tempat, atau hal-hal tertentu tanpa dasar yang benar.
Rasulullah SAW melarang tathayyur karena bertentangan dengan konsep tauhid. Seorang muslim harus percaya bahwa semua kejadian ada dalam kuasa Allah SWT.
Sabda Nabi SAW: "Tidak ada tathayyur (kesialan), tidak ada shafar (bulan sial), dan tidak ada burung hantu (pembawa malapetaka)." (HR. Bukhari dan Muslim)
Meyakini bahwa menikah di bulan tertentu membawa petaka termasuk bentuk pesimisme. Dalam Islam, pesimisme yang berlebihan bisa mengarah pada syirik kecil.
Pernikahan adalah ibadah yang dianjurkan dalam Islam. Menundanya karena alasan budaya yang tak berdasar justru dapat menghambat kebaikan dan memperlama hal yang halal.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga tidak pernah mengeluarkan fatwa yang melarang pernikahan di bulan Suro atau bulan apa pun dalam kalender hijriah.
Dar al-Ifta Mesir menegaskan bahwa anggapan tersebut hanya mitos. Islam tidak mengaitkan waktu dengan nasib, kecuali jika ada dalil dari Al-Qur’an atau hadits.
“Yang menjadi masalah itu bukan waktunya, tapi apakah pasangan sudah siap menjalani kehidupan rumah tangga,” tambah Ustaz Wahab.
Jika sepasang calon pengantin telah siap secara lahir dan batin, maka tidak perlu ragu untuk menikah kapan pun waktunya, termasuk di bulan Muharram.
Pernikahan yang dilakukan atas dasar kesiapan dan niat yang tulus akan lebih membawa keberkahan dibanding menundanya karena mitos tanpa dasar.
Masyarakat diimbau agar tidak lagi terpengaruh oleh tradisi yang tidak sesuai dengan syariat. Agama Islam mengajarkan untuk bersikap rasional dan bertauhid murni.
Menikah di bulan Suro sah, halal, dan dibolehkan secara hukum fiqih, termasuk menurut pandangan mazhab Syafi’i yang dianut mayoritas umat Islam di Indonesia.
Kesiapan, niat baik, dan tawakal kepada Allah adalah fondasi utama dalam membina rumah tangga. Waktu hanyalah sarana, bukan penentu keberhasilan.
Daftar Isi [Tutup]
0 Komentar
Posting Komentar
Terima Kasih atas komentar anda. Yuk bagikan informasi ini kepada teman anda!